Kasus kecanduan judi online (judol) terus menunjukkan sisi gelap yang meresahkan. Di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur Surabaya, tercatat 85 pasien judol di rawat di RSJ Menur, mencerminkan seberapa dalam dampak sosial dan psikologis dari permainan digital ini. Lebih mencengangkan lagi, di antara mereka ada pasien yang masih berusia 14 tahun.
Data tersebut di sampaikan langsung oleh Direktur RSJ Menur, drg Vitria Dewi. Ia menyebut bahwa angka itu dikumpulkan hingga Mei 2025. Rentang usia pasien pun cukup ekstrem, dari remaja hingga lansia.
“Pasien termuda kami 14 tahun, tertua 70 tahun. Data ini mencerminkan betapa lintas generasi sudah mulai terkena imbasnya,” jelas Vitria.
Munculnya skor, sistem hadiah, dan elemen adiktif dari aplikasi judol memancing pengguna untuk terus kembali bermain. Bahkan, sebagian dari mereka tidak menyadari bahwa aktivitas yang mereka anggap hiburan ringan, justru menjerumuskan mereka ke jurang kecanduan.
Fakta ini menjadi tamparan keras bagi masyarakat dan pemerintah untuk memperhatikan dampak tersembunyi dari judi online terhadap kesehatan mental, terutama pada kalangan usia muda.
Baca Juga : Chikita Meidy dan Suami Sama-sama Punya Bukti, Konflik Rumah Tangga Makin Memanas
Kecanduan Judol Sering Terkait Penyalahgunaan Napza
Dari hasil pendalaman terhadap para pasien, RSJ Menur menemukan bahwa kecanduan judol sering kali terjadi bersamaan dengan penyalahgunaan Napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya). Banyak dari pasien yang awalnya menjalani rehabilitasi Napza, justru di ketahui juga memiliki kebiasaan berjudi online.
“Banyak yang mengakses aplikasi judol saat dalam pengaruh obat. Ketika menggunakan narkoba, muncul keberanian lebih, dan mereka masuk ke dunia judol,” ungkap Vitria.
Fenomena ini menunjukkan bahwa judi online bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Ia bisa menjadi bagian dari paket kecanduan yang lebih kompleks, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda yang belum memiliki kontrol diri yang kuat.
Dampaknya bukan hanya keuangan, tapi juga kesehatan mental, sosial, bahkan kriminalitas. Beberapa pasien bahkan mengalami perubahan perilaku ekstrem, dari manipulatif hingga agresif, akibat dorongan kecanduan dan keinginan untuk mendapatkan “dopamin instan” dari game berbasis taruhan.
Masalah menjadi semakin serius karena banyak dari mereka yang mengenal judol dari rasa iseng, penasaran, hingga akhirnya menjadi kecanduan. Ini mengindikasikan pentingnya edukasi sejak dini tentang bahaya dunia digital yang tidak di awasi dengan baik.
Dari Iseng ke Kecanduan: Pola Umum Pasien Judol
Menurut Vitria Dewi, hampir semua pasien yang masuk ke RSJ Menur karena judol memiliki pola awal yang serupa. Mereka awalnya hanya iseng mencoba. Ada yang melihat iklan di media sosial, ada yang tertarik karena promosi hadiah uang, hingga mengikuti ajakan teman.
“Permainannya muncul skor, lalu ada uang. Itu bikin senang di otak, dan otak ingin lagi dan lagi,” ujarnya.
Begitu otak mengenali pola kesenangan tersebut, muncullah efek adiktif. Pasien merasa tergoda untuk bermain ulang, bahkan menghabiskan uang saku, gaji, atau dana keluarga demi mengejar sensasi menang. Tak jarang pula yang berani berutang atau mencuri demi bisa kembali bermain.
Perilaku ini mirip dengan kecanduan narkoba—ada euforia, ada kehilangan kontrol, dan ada penyangkalan. Pasien kerap tidak menyadari bahwa dirinya sudah kecanduan. Mereka terus mengulang perilaku itu meski dampaknya sudah merusak hubungan sosial dan finansial.
Remaja jadi salah satu kelompok paling rentan. Minimnya edukasi digital, pengawasan dari orang tua yang longgar, serta tekanan sosial dari lingkungan membuat mereka lebih mudah jatuh ke perangkap aplikasi berbau taruhan.
Ragam Penanganan: Dari Terapi Psikososial hingga Obat
Dalam menangani 85 pasien judol di rawat di RSJ Menur, pihak rumah sakit tidak menerapkan satu jenis terapi saja. Pendekatan mereka bersifat holistik dan tergantung pada kondisi masing-masing pasien. Ada yang cukup di rawat jalan dan konseling, namun ada juga yang perlu rawat inap, terapi perilaku, hingga intervensi farmakologis.
“Semuanya tergantung tingkat keparahan. Ada yang cukup dengan konseling, ada yang perlu obat dan terapi psikososial,” jelas Vitria.
Pasien yang mengalami perubahan perilaku ekstrim, atau yang menunjukkan gejala psikotik, biasanya di berikan kombinasi antara obat penenang dan terapi perilaku. Sementara mereka yang tergolong ringan biasanya masuk program rehabilitasi perilaku dan pelatihan kontrol impuls.
Pentingnya dukungan keluarga sangat di tekankan dalam proses penyembuhan. Tanpa keterlibatan orang terdekat, pasien cenderung kembali ke pola lama pasca keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, RSJ Menur juga menyediakan sesi konseling keluarga dan edukasi agar proses pemulihan menjadi lebih efektif.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa penanganan kecanduan judol tidak bisa di lakukan sendiri. Butuh dukungan sistem, tenaga profesional, dan kesadaran kolektif dari lingkungan sekitar.
Waspadai Judol sebagai Ancaman Kesehatan Mental Nasional
Kasus 85 pasien judol di rawat di RSJ Menur adalah alarm keras bagi pemerintah dan masyarakat luas. Judi online kini bukan hanya soal ekonomi, tapi telah menjadi ancaman serius terhadap kesehatan jiwa. Jika tak di tangani dari hulu, masalah ini akan semakin membesar.
Langkah preventif seperti edukasi digital di sekolah, kampanye kesadaran di media sosial, serta penegakan hukum terhadap situs-situs ilegal harus terus di perkuat. Remaja dan anak-anak harus menjadi prioritas utama dalam upaya pencegahan.
Selain itu, regulasi terhadap iklan digital dan promosi aplikasi berbau taruhan juga perlu di perketat. Banyak aplikasi tersamar sebagai game biasa, namun menyimpan sistem taruhan yang memicu kecanduan.
Masyarakat juga harus lebih peduli terhadap tanda-tanda awal kecanduan. Jika seseorang mulai sering berjudi, sulit berhenti, menyembunyikan aktivitas digitalnya, atau mulai berbohong soal uang, maka sudah saatnya intervensi di lakukan.
RSJ Menur telah melakukan perannya. Kini, tugas kita adalah mencegah angka pasien berikutnya muncul dari lingkungan kita sendiri.