MAKI Desak KPK Minta Maaf soal Raihan dan Proyek IT

MAKI Desak KPK Minta Maaf soal Raihan
MAKI Desak KPK Minta Maaf soal Raihan

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kembali menjadi sorotan setelah melontarkan desakan keras. MAKI desak KPK minta maaf secara terbuka atas keterlibatan narasumber bernama Raihan, yang di sebut menerima uang dari kasus judi online.

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyampaikan bahwa tindakan KPK yang mengundang Raihan sebagai narasumber merupakan kekeliruan fatal. Pasalnya, Raihan terbukti menerima komisi sebesar Rp 200 juta dari salah satu terdakwa kasus judi online, Adhi Kismanto. MAKI menilai hal tersebut mencoreng integritas lembaga anti-rasuah tersebut.

Tidak hanya meminta klarifikasi, MAKI juga mendesak agar seluruh proyek teknologi informasi yang pernah di kerjakan oleh Raihan di musnahkan. Menurut Boyamin, keterlibatan seseorang dengan rekam jejak buruk seperti Raihan berpotensi mengancam keamanan sistem internal KPK. Oleh karena itu, produk digital yang pernah dikembangkan, termasuk software dan sistem IT, harus segera di hapus dari penggunaan.

Desakan MAKI ini menambah panjang rentetan kritik terhadap transparansi dan akuntabilitas kerja sama antara KPK dan pihak luar yang tidak melalui prosedur ketat.

Baca Juga : KPK Klarifikasi Status Raihan dalam Sidang Kasus Judol

Sorotan terhadap Sistem Kerja KPK dan Perekrutan Narasumber

Dalam keterangannya, Boyamin Saiman menyampaikan bahwa KPK seharusnya tidak lagi bekerja sama dengan individu, melainkan menggandeng perusahaan resmi yang lebih akuntabel. Ia menekankan bahwa perusahaan memiliki sistem pertanggungjawaban yang lebih terstruktur di banding perorangan. Hal ini di anggap lebih aman untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan sistem internal lembaga. MAKI desak KPK minta maaf atas kelalaian dalam merekrut pihak yang tak memiliki rekam jejak profesional yang baik.

MAKI menyoroti bahwa KPK melakukan kelalaian dalam proses seleksi narasumber yang di libatkan dalam proyek internal. Perekrutan Raihan sebagai narasumber ternyata berbuntut panjang, karena terungkap keterlibatannya dengan salah satu terdakwa kasus judi online.

Boyamin juga menambahkan bahwa bukan hanya KPK yang harus minta maaf, tapi juga harus ada audit internal untuk mengetahui siapa yang merekrut Raihan dan bagaimana prosesnya bisa lolos tanpa validasi menyeluruh. Jika di temukan pelanggaran, pihak internal yang bertanggung jawab harus di kenai sanksi agar kejadian serupa tidak terulang.

Menurut MAKI, integritas dan profesionalitas seharusnya menjadi syarat mutlak dalam setiap kerja sama KPK dengan pihak luar, apalagi dalam proyek sensitif seperti pengelolaan data dan sistem pelacakan digital.

Kronologi Keterlibatan Raihan dan Aliran Dana Judol

Nama Raihan mencuat ke publik setelah disebut dalam persidangan kasus judi online Kominfo yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 18 Juni 2025. Dalam kesaksiannya, Raihan mengaku menerima uang sebesar Rp 200 juta dari Adhi Kismanto, terdakwa dalam kasus tersebut.

Raihan mengatakan bahwa uang tersebut merupakan komisi atas jasanya sebagai pengembang aplikasi bernama Clandestine, yang di gunakan untuk melacak situs-situs judi online. Proyek pengembangan aplikasi ini di klaim merupakan hasil kesepakatan pribadi antara Raihan dan Adhi, tanpa keterlibatan institusi mana pun secara langsung.

Namun, keterlibatan Raihan sebagai narasumber di KPK pada tahun sebelumnya menimbulkan kesan bahwa ada hubungan resmi antara dirinya dan lembaga negara tersebut. Hal ini lantas memicu spekulasi dan kritik keras dari publik, termasuk dari MAKI.

Sebagai catatan, pembayaran Rp 200 juta kepada Raihan di lakukan secara tunai pada awal tahun 2024, setelah aplikasi di klaim rampung. Fakta ini menjadi perhatian utama dalam tuntutan MAKI terhadap KPK untuk membersihkan semua jejak kerja sama dengan Raihan.

Klarifikasi KPK soal Status Raihan sebagai Narasumber

Menanggapi hebohnya pemberitaan tersebut, KPK langsung memberikan klarifikasi resmi. Melalui juru bicara Budi Prasetyo, lembaga menegaskan bahwa Raihan bukan pegawai KPK dan tidak memiliki ikatan kerja tetap. Raihan hanya pernah di undang sebagai narasumber dalam proyek pengelolaan data dan informasi.

Jubir KPK menyebut bahwa narasumber seperti Raihan hanya bekerja dalam waktu terbatas, berdasarkan keahlian yang di miliki, dan tidak memiliki akses penuh terhadap sistem atau proyek-proyek utama. Keterlibatannya bersifat sementara dan tidak terikat secara struktural.

Meski demikian, klarifikasi ini tidak meredam kritik dari MAKI dan publik. Status narasumber tetap mencerminkan nama KPK, sehingga lembaga dinilai bertanggung jawab atas pilihan mitra proyeknya.

KPK juga menegaskan bahwa mereka akan melakukan pendalaman lebih lanjut melalui Inspektorat. Langkah ini di ambil sebagai bentuk tanggung jawab dan transparansi kepada publik atas kemungkinan adanya pelanggaran prosedural dalam perekrutan narasumber.

Evaluasi Prosedur Rekrutmen dan Refleksi Profesionalisme

Kasus ini menjadi pengingat penting tentang perlunya standar evaluasi dan seleksi yang ketat dalam melibatkan pihak luar oleh lembaga negara. Ketika KPK, lembaga anti-korupsi tertinggi di Indonesia, merekrut narasumber tanpa verifikasi mendalam, risiko kerugian reputasi sangat besar.

Desakan MAKI agar KPK menyampaikan permintaan maaf bukan hanya soal gengsi kelembagaan, tetapi juga soal komitmen moral kepada publik. Dalam situasi di mana transparansi dan kepercayaan publik sangat di butuhkan, setiap kelalaian bisa berdampak sistemik.

Ke depan, KPK di harapkan memperketat seluruh proses perekrutan, khususnya untuk proyek teknologi informasi yang memiliki akses terhadap data penting. Perusahaan dengan legalitas resmi, rekam jejak jelas, dan sistem pertanggungjawaban profesional harus menjadi mitra kerja utama lembaga.

Keterlibatan individu seperti kasus Raihan perlu di evaluasi agar mencegah penyalahgunaan wewenang dan pencatutan nama lembaga.